Ketika harga minyak dunia terus melambung, kenaikan harga BBM memang hanya soal waktu saja. Ketika pada akhirnya pemerintah menyerah, dan memilih opsi kenaikkan harga katimbang pembatasan subsidi, sesungguhnya juga bukan tanpa risiko. Karena di samping tidak populer, juga sangat rentan memicu ketidakstabilan sosial.
Apalagi jika ditumpangi kepentingan politis, kenaikan harga BBM ini berpotensi besar menjadi amunisi baru untuk menggoyang pemerintah. Kekhawatiran ini bukanlah tanpa alasan, karena belum lagi BBM naik, harga berbagai kebutuhan pokok telah lebih dulu naik, rakyat menjerit, dan bibit demonstrasi anti kenaikkan BBM sudah bertumbuhan. Inilah risiko yang sesungguhnya paling dihindari pemerintah SBY.
Kebijakan dua harga pada BBM subsidi masih menimbulkan polemik. Pemerintah dihadapkan pada risiko membengkaknya anggaran subsisi BBM. Terlebih harga BBM subsidi Rp 4.500 tergolong sangat murah, dan tidak tepat sasaran. Muncul ide untuk menaikan harga BBM subsidi menjadi Rp 7.000 atau Rp 7.500, namun pada akhirnya pemerintah memilih sistem, yang dianggap sebagian orang, mempersulit diri sendiri.
Dengan dua harga BBM subsidi, Rp 6.500 atau Rp 7.000 untuk mobil plat hitam (belum diputuskan resmi) dan Rp 4.500 untuk motor dan angkutan umum, maka ada risiko terjadi penyelewengan.
Padahal sesungguhnya, opsi pembatasan subsidi tidaklah buruk-buruk amat, bahkan lebih masuk akal, tepat sasaran, dan efektif untuk mengurangi beban subsidi yang kian membengkak. Walaupun opsi ini memang lebih rumit, lebih sulit, dan butuh pengawasan yang ketat. Jadi kalaupun pada akhirnya opsi kenaikan harga yang dipilih, tentu lebih karena persoalan pragmatis saja. Walaupun sesungguhnya amat berisiko.
Tidaklah berlebihan jika beranggapan bahwa sesungguhnya kenaikan harga BBM ini seperti perangkap.
Ketika banyak pihak termasuk politisi di senayan, menentang rencana pembatasan subsidi, dan menyebut bahwa kenaikan harga lebih realistis, pemerintah seperti memasuki perangkap itu, ketika langsung berbalik arah. Karena dengan menaikkan harga BBM, pemerintah telah menempatkan dirinya sebagai sasaran tembak petualang politik. Jadi jika tidak dikelola secara benar, isu kenaikan BBM ini berpotensi besar menciptakan ketidakstabilan politik.
Sudah semestinya pemerintah cepat menentukan langkah antisipatif. Pemberian bantuan tunai langsung memang bisa mereda kemarahan publik. Tapi inipun hanyalah solusi instan. Karena tetap tidak bisa melepaskan ketergantungan publik kepada pemerintah. Jadi yang perlu ditempuh, sesungguhnya adalah cetak biru kebijakan energi.
Penting bagi kita untuk mengubah pola konsumsi BBM secara radikal. Budaya boros energi, harus ditinggalkan. Sebagai gantinya adalah membudayakan pola hidup yang ramah BBM, dan meninggalkan ketergantungan terhadap bahan bakar minyak. Tentu ini membutuhkan langkah besar dan keseriusan untuk mengeksplorasi sumber-sumber energi yang terbarukan. Jika kita tak pernah memulainya, kita akan selalu terjebak pada persoalan yang sama.
No comments:
Post a Comment